Rabu, 24 Maret 2010

VIJAYA1 SUTTA

BAB I
BAB TENTANG ULAR
11. VIJAYA1 SUTTA
Kemenangan atas Kegelapan Batin
Perenungan akan sifat-sifat tubuh manusia yang tidak menarik
1. Selagi berjalan, berdiri; duduk maupun berbaring, siapa pun juga akan mengerutkan atau meregangkan tubuhnya. Demikianlah gerakan tubuh. (193)
2. Tubuh disatukan dengan tulang dan otot, direkat dengan kulit dan daging, sehingga sifatnya yang sejati tidak dipahami. (194)
3. Tubuh berisi usus di rongga perut, gumpalan hati di dalam perut, kandung kencing, jantung, paru-paru, ginjal dan limpa; (195)
4. Dengan lendir, air liur, keringat, getah bening, darah, cairan selaput, empedu dan lemak. (196)
5. Lewat sembilan aliran, kekotoran terus menerus mendesak keluar --dari mata keluar kotoran mata, dari telinga keluar kotoran telinga; (197)
6. Dari hidung keluar ingus; kadang-kadang tubuh mengeluarkan muntahan lewat mulut dan mengeluarkan cairan empedu serta lendir; dari tubuh keluar keringat dan kotoran. (198)
7. Rongga di kepala dipenuhi otak; tetapi orang tolol --karena ketidaktahuannya-- menganggapnya sebagai benda yang bagus; (199)
8. Ketika tubuh terbaring mati --dalam keadaan bengkak dan pucat kebiru-biruan-- lalu disingkirkan ke tanah pekuburan, tidak lagi ada sanak saudara yang menginginkannya. (200)
9. Anjing, serigala, cacing, gagak dan burung nasar, serta makhluk-makhluk lain memakan bangkainya. (201)
10. Di dunia ini, bhikkhu yang bijaksana, yang mendengarkan kata-kata Sang Buddha, akan memahami tubuh ini sepenuhnya serta melihatnya dengan pandangan benar. (202)
11. Dia membandingkan tubuhnya dengan mayat, dan karena berpikir bahwa tubuh ini sama seperti mayat dan mayat sama dengan tubuh ini, dia menghapus nafsu terhadap tubuhnya sendiri. (203)
12. Di dunia ini, bhikkhu yang bijaksana seperti itu, yang terbebas dari nafsu keinginan dan kemelekatan, akan mencapai keadaan Nibbana yang kekal, yang hening dan tanpa kematian. (204)
13. Tubuh ini bersifat tidak murni, berbau busuk dan penuh dengan berbagai kebusukan yang menetes di sana sini. (205)
14. Jika orang yang memiliki tubuh seperti ini menyombongkan dirinya sendiri dan merendahkan yang lain -- hal itu semata-mata disebabkan karena kurangnya pandangan terang pada dirinya. (206)

Catatan
1. Vijaya berarti 'kemenangan'. Di sini, 'kemenangan' atas kegelapan batin yang berkenaan dengan kerangka tubuh yang tidak murni. Sutta ini juga disebut Kayavicchandanika Sutta, khotbah mengenai sifat tubuh yang tidak menarik

VASETTHA SUTTA

III. BAB BESAR
9. VASETTHA SUTTA
Vasettha
Definisi yang Benar tentang 'Brahmana'
Demikian yang telah saya dengar: Suatu ketika Sang Buddha berdiam di hutan Icchanangala. Banyak brahmana terkenal yang tinggal juga di sana, seperti Canki, Tarukkha, Pokkharasati, Janussoni dan Todeyya -- yang semuanya brahmana terkenal, terpelajar, dan kaya.
Di antara orang-orang ini ada dua brahmana muda. Yang satu bernama Vasettha dan yang lain Bharadvaja. Suatu hari, ketika kedua orang muda ini sedang berjalan-jalan, mereka bercakap-cakap mengenai faktor-faktor yang membuat seseorang menjadi brahmana.
Bharadvaja berkata: 'Itu berhubungan dengan keluarga seseorang. Jika latar belakang keluarganya murni, dan selama tujuh generasi tidak ada perkawinan campuran dengan kasta lain, baik pada pihak ibu maupun pihak ayah, maka dia adalah seorang brahmana.'
Tetapi Vasettha berkata: 'Jika tindakan orang itu baik dan dia menjalankan kewajiban-kewajibannya, maka dia adalah seorang brahmana.'
Bharadvaja bersikeras pada teorinya, dan Vasettha pun berpegang teguh pada teorinya sendiri. Yang satu tidak dapat menyakinkan yang lain bahwa dia benar. Jadi Vasettha menyarankan agar mereka meminta nasehat orang lain.
Vasettha berkata kepada Bharadvaja. 'Ada seorang pertapa bernama Gotama, pangeran suku Sakya, yang telah meninggalkan kehidupan berkeluarga. Banyak orang mengatakan: "Demikianlah Sang Tathagata karena Beliau telah sempurna, sepenuhnya tercerahkan, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang baik, agung, pengenal semua alam, pemimpin yang tiada bandingnya bagi manusia yang harus dikendalikan, guru para dewa dan manusia, yang telah tercerahkan dan mulia.' Setelah menyadari Kebenaran (Dhamma), Sang Buddha membabarkannya agar diketahui dunia manusia dan para dewa, termasuk para pertapa dan brahmana. Beliau mengajarkan Kebenaran yang indah di awal, di tengah dan di akhir, penuh makna, kaya dalam kata-katanya, dan sepenuhnya lengkap. Beliau mengajarkan kehidupan suci yang sempurna. Benar-benar luar biasa melihat orang-orang suci semacam ini!'
Baiklah, Bharadvaja,' kata Vasettha, 'Marilah kita menjumpai Gotama, dan memohon Beliau untuk menjernihkan pertanyaan ini! Kemudian kita akan menerimanya sebagaimana dijelaskan oleh pertapa Gotama.'
Bharadvaja berkata: 'Baik. Marilah kita pergi.' Maka kedua orang muda itu pergi mencari Sang Guru. Ketika menemukan Sang Buddha, mereka menyapa dengan sopan dan duduk di satu sisi. Kemudian Vasettha berbicara kepada Sang Guru dalam kata-kata berikut ini:
1. Tuan, kami berdua adalah siswa ajaran-ajaran ortodoks, dan kami berdua dikenal dan dianggap sebagai pakar dalam pelajaran Kitab Veda. Guru saya adalah Pokkharasati, dan teman saya ini belajar dari Tarukkha. (594)
2. Kami telah mempelajari semua Kitab Komentar dari ketiga Veda, dan kami memenuhi syarat untuk mengajarkan irama, tata bahasa, dan doa (595)
3. Walaupun demikian, Gotama, ada satu pertanyaan yang kami berdua tidak sepakat, yaitu tentang pentingnya keturunan. Bharadvaja bersikeras bahwa orang adalah brahmana karena dia dilahirkan sebagai brahmana. Namun saya yakin, bahwa yang dilakukan orang itulah yang penting. Kami harap Tuan --yang memiliki pandangan terang-- mengetahui ketidaksepakatan ini. (596)
4. Karena kami berdua tidak bisa menyelesaikannya sendiri, kami datang kepada-Mu untuk menanyakan hal ini. Kami mendengar Engkau disebut Yang Sepenuhnya Tercerahkan. (597)
5. Oleh orang-orang Engkau diperlakukan dengan penuh hormat. Mereka menangkupkan tangan ketika melihat Tuan, sama halnya seperti ketika mereka menghormat rembulan yang bertambah besar. (598)
6. Engkau adalah mata dunia, Gotama, maka kami bertanya kepada-Mu untuk mempertimbangkan pertanyaan ini: 'apakah yang membuat orang menjadi brahmana? Apakah karena kelahiran, atau karena apa yang dia lakukan? Kami tak dapat memecahkannya, Gotama, jadi jelaskan dan beritahukanlah apa brahmana itu.' (599)
7. Sang Buddha menjawab Vasettha dengan kata-kata ini 'Akan kujelaskan kepadamu --dalam urutan yang benar dan berdasarkan fakta-- tentang berbagai macam makhluk hidup karena ada banyak spesies. (600)
8. Jika engkau memandang pohon atau rumput, walaupun mungkin tidak kau sadari, ada banyak jenis dan spesies. Ada berbagai macam yang berbeda-beda. (601)
9. Kemudian juga ada serangga, yang besar misalnya ngengat dan yang kecil misalnya semut. Pada makhluk-makhluk ini juga engkau dapat melihat bahwa mereka memiliki jenis dan macam yang berbeda. (602)
10. Dan pada binatang berkaki empat --tak peduli berapa besarnya-- engkau dapat melihat bahwa mereka memiliki jenis dan spesies yang berbeda. (603)
11. Sekarang lihatlah makhluk-makhluk melata, yang berjalan di atas perut, seperti misalnya reptil dan ular engkau dapat melihat bahwa mereka memiliki jenis dan spesies yang berbeda. (604)
12-13. Pandanglah ikan dan kehidupan air -- pandanglah burung dan binatang yang terbang -- engkau dapat melihat bahwa mereka memiliki jenis dan spesies yang berbeda. (605-6)
14. Di antara manusia, jenis dan spesiesnya tidak sebanyak yang terdapat di antara spesies-spesies lain. (607)
15. Tidak seperti spesies-spesies lain, di antara manusia tidak ada perbedaan jenis maupun spesies sehubungan dengan mata, telinga, mulut, hidung, bibir, alis, dan bahkan rambut mereka -- semuanya dari jenis yang sama. (608)
16. Dari leher sampai ke pangkal paha, dari bahu sampai ke pinggul, dari punggung sampai ke dada -- untuk manusia semuanya satu jenis (609)
17. Tangan, kaki, jari, kuku, betis dan paha, semuanya standar. Begitu juga ciri-ciri suara dan warnanya. Tidak seperti makhluk lain, manusia tidak memiliki ciri-ciri yang membedakan mereka pada waktu lahir. (610)
18. Mereka tidak memiliki berbagai ciri warisan yang dimiliki makhluk lain. Sebenarnya, dalam hal manusia, perbedaan-perbedaan itu ada hanya karena kaidah atau ketentuan1. (611)
19. Misalnya, Vasettha, jika seseorang memelihara sapi dan hidup dari hasil sapi-sapi itu, kita tahu bahwa dia adalah petani. Kita tidak menyebutnya brahmana. (612)
20. Begitu juga, jika seseorang mencari nafkah lewat keterampilan, maka kita tahu bahwa dia adalah pengrajin. Kita tidak menyebutnya brahmana. (613)
21. Jika dia menopang dirinya dengan berdagang, maka kita tahu bahwa dia adalah pedagang, bukan brahmana. (614)
22. Jika seseorang memperoleh bayaran dengan melayani orang lain, maka kita menyebutnya pegawai, bukan brahmana. (615)
23. Seseorang yang hidup dengan mengambil barang-barang milik orang lain dikenal sebagai pencuri, bukan brahmana. (616)
24. Dan seorang pemanah yang menjual keterampilannya dikenal sebagai prajurit. Kita tidak menyebutnya brahmana. (617)
25. Seseorang yang pekerjaannya melakukan ritual dan upacara dikenal sebagai pendeta, bukan brahmana. (618)
26. Seseorang yang hidup dari hasil negara dan desa dikenal sebagai tuan tanah atau raja. Kita tidak menyebutnya brahmana. (619)
27. Aku tidak menyebut seseorang brahmana hanya karena ibunya atau karena keturunannya. Hanya karena seseorang berhak disebut 'Tuan', tidak berarti bahwa dia terbebas dari kebiasaan dan kemelekatan. Dia yang terbebas dari kemelekatan, dia yang terbebas dari ketamakan adalah orang yang kusebut brahmana. (620)
28. Jika semua rantai telah dihancurkan, jika gejolak sudah tidak lagi ada, jika orang telah membebaskan dirinya dan membuang belenggu-belenggunya -- itulah orang yang kusebut brahmana. (621)
29. Dia yang telah memutus tali pengikat [ketidaktahuan] dan kendali [pandangan-pandangan salah], yang telah menghilangkan rintangan dan telah tercerahkan, adalah orang yang kusebut bahmana. (622)
30. Dia yang tanpa menjadi jengkel menerima penghinaan dan kekerasan, yang memiliki daya tahan sebagai kekuatan dan bala tentaranya, adalah orang yang kusebut brahmana. (623)
31. Tidak ada kemarahan dan tidak ada kebodohan batin. Yang ada hanyalah tenaga pengendalian diri dan kekuatan tindakan yang suci. Jadi tidak ada pengulangan kebiasaan, tidak ada tumimbal lahir. Inilah yang kusebut brahmana. (624)
32. Bagaikan tetes air di atas daun teratai, bagaikan biji mostar di ujung jarum, nafsu-nafsu indera menggelinding dan tidak meninggalkan jejak padanya. Inilah orang yang kusebut brahmana. (625)
33. Dengan menghilangkan beban dan membuang rantai --di sini, di dunia ini, dia dapat melihat bahwa bahkan penderitaan pun ada akhirnya. Inilah orang yang kusebut brahmana. (626)
34. Orang yang kaya kebijaksanaan, yang bijaksana, yang terampil mengetahui mana jalan yang benar dan mana yang salah, yang telah mencapai tujuan tertinggi, adalah orang yang kusebut brahmana. (627)
35. Tidak ada sandaran, tidak ada ketergantungan, tidak merasa perlu berkumpul dengan orang lain, baik pemilik harta maupun bhikkhu yang berkelana. Sudah cukup dengan yang sederhana; inilah arti 'brahmana'. (628)
36. Meletakkan senjata kekerasan, berhenti membunuh makhluk apa pun, berhenti menyebabkan orang lain membunuh mahkluk apa pun; inilah arti 'brahmana' (629)
37. Dia yang tidak menunjukkan kemarahan terhadap mereka yang marah, yang damai terhadap mereka yang menggunakan kekerasan, yang tidak tamak di antara mereka yang cenderung tamak, adalah orang yang kusebut brahmana. (630)
38. Dia yang telah melenyapkan keinginan, kebencian, kesombongan dan keirihatian, bagaikan biji mostar yang menggelinding dari ujung jarum, adalah orang yang kusebut brahmana. (631)
39. Dia yang mengucapkan kata-kata yang tidak kasar, kata-kata yang benar serta penuh makna, kata-kata yang tidak menyebabkan kemarahan orang lain, adalah orang yang kusebut brahmana. (632)
40. Tidak memiliki kekayaan, tidak ada benda-benda yang dikumpulkan, seberapa pun besarnya, jumlahnya atau nilainya; inilah arti 'brahmana'. (633)
41. Tidak ada yang diharapkan, tidak memiliki keinginan melekati dunia ini atau dunia lain; dia tidak terikat, telah terbebas; inilah arti 'brahmana'. (634)
42. Tidak ada keinginan --pertanyaan dan keraguan lenyap karena adanya pengetahuan, dan dia mencebur ke dalam keadaan tanpa-kematian; inilah arti 'brahmana'. (635)
43. Dia yang telah pergi melampaui [ketidakmurnian] perbuatan yang memberikan pahala atau tidak, yang bebas dari kesedihan dan kekotoran batin, serta telah murni; inilah arti 'brahmana'. (636)
44. Bersifat jernih, tenang, tanpa noda, bagaikan rembulan di mana belenggu-belenggu dumadi yang terus-menerus telah terputus dan terbuang; inilah arti 'brahmana'. (637)
45. Dia yang telah pergi melampaui jalan siklus tumimbal lahir yang kasar dan berbahaya serta telah melampaui kebodohan batin, yang telah menyeberang dan pergi ke pantai seberang, yang melaksanakan perenungan, tanpa nafsu, dan bebas dari keraguan, orang yang tenang dan tak melekat, adalah orang yang kusebut brahmana. (638)
46. Kesenangan nafsu indera telah pergi, dia membiarkannya pergi demi kehidupan seorang kelana tak-berumah. Kesenangan nafsu indera akan dumadi yang terus-menerus telah lenyap, telah terbuang; inilah arti 'brahmana'. (639)
47. Tuntutan kemelekatan telah hilang, dia membiarkannya pergi demi kehidupan seorang kelana tak-berumah. Keinginan akan dumadi yang terus-menerus telah lenyap, telah terbuang; inilah arti 'brahmana'. (640)
48. Beban berat di punggung manusia, beban yang bahkan memberati para dewa -- semuanya telah diletakkan, dibuang dan diatasi: dia tidak lagi terikat pada kuk, telah bebas. Inilah arti 'brahmana'. (641)
49. Menghindari rasa senang dan tidak senang, dia telah menjadi dingin dan bebas dari dasar-dasar [yang menuju tumimbal lahir]. Dia adalah seorang pahlawan yang telah mengatasi semua alam, dia adalah orang yang kusebut 'brahmana'. (642)
50. Dia yang telah sepenuhnya memahami bagaimana terjadinya makhluk dan bagaimana makhluk-makhluk berhenti, dia yang tidak melekat, yang hidup dengan benar dan tercerahkan, adalah orang yang kusebut 'brahmana'. (643)
51. Dia yang nasibnya tidak dapat diketahui oleh para dewa dan manusia, orang yang telah menghapus nafsu, orang yang mulia, adalah orang yang kusebut 'brahmana'. (644)
52. Dia tak memiliki harta milik apa pun -- tak satu pun di masa lalu, tak satu pun di masa depan, tak satu pun di masa kini. Dia tidak memegangi apa pun sama sekali; terbebas dari kemelekatan, inilah yang kusebut 'brahmana'. (645)
53. Seorang pahlawan -- manusia besar, yang terkemuka, yang bijaksana, manusia yang menang, yang tidak memiliki rasa takut. Tidak melekat; tercuci [dalam air kebijaksanaan]; tercerahkan. Inilah yang kusebut 'brahmana'. (646)
54. Dia mengetahui kehidupan-kehidupan lampaunya, dia telah melihat bentuk-bentuk kehidupan yang lain, alam-alam yang menyedihkan dan alam-alam yang bahagia. Inilah pencapaiannya: sampai di akhir rantai tumimbal lahir. Inilah yang kusebut 'brahmana'. (647)
55. Jadi apa arti gelar, nama dan ras ini? Semuanya hanyalah kaidah-kaidah duniawi saja. Itu ada karena persetujuan umum. (648)
56. Kepercayaan salah ini telah lama sekali erat terpahat di pikiran orang yang bodoh, dan [masih saja] orang-orang bodoh ini mengatakan kepada kita: 'Orang menjadi brahmana lewat kelahiran.' (649)
57. [Sebaliknya], tak seorang pun terlahir sebagai brahmana; tak seorang pun terlahir sebagai non-brahmana. Seorang brahmana menjadi brahmana karena apa yang dia lakukan; orang yang bukan brahmana menjadi bukan brahmana karena apa yang dia lakukan. (650)
58. Seorang petani menjadi petani karena apa yang dia lakukan, demikian pula seorang pengrajin disebut pengrajin karena apa yang dia lakukan. (651)
59. Seorang pedagang, pelayan, pencuri, prajurit, pendeta atau raja: masing-masing menjadi apa adanya karena apa yang dia lakukan. (652)
60. Demikianlah orang bijaksana melihat tindakan seperti yang telah benar-benar terjadi. Mereka terampil dalam buah-buah tindakan dan mereka dapat melihat sebab musabab yang saling bergantungan. (653)
61. Dunia ada karena tindakan-tindakan yang berpenyebab, semua hal dihasilkan karena tindakan yang berpenyebab dan semua makhluk tunduk dan terikat oleh tindakan-tindakan yang berpenyebab. Mereka terpateri bagaikan roda kereta yang menggelinding, yang tertancap oleh paku pada tangkai as rodanya. (654)
62. Brahmana adalah hasil dari penahanan diri, kehidupan yang bermanfaat dan pengendalian diri. Inilah esensi brahmana. (655)
63. Jadi, Vassettha, pahamilah hal ini dengan jelas: ada orang-orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam ketiga bagian pengetahuan (yaitu Kitab Veda), yang tenang dan telah menyelesaikan ikatan rantai dumadi yang berulang-ulang. Orang-orang ini harus dikenali sebagai 'Brahma atau Indra.' (656)
Kemudian Vassettha dan Bharadvaja berkata kepada Sang Buddha: 'Sungguh menakjubkan, Yang Mulia Gotama! Sungguh luar biasa, Yang Mulia Gotama! Sebagaimana orang menegakkan apa yang telah terjungkir balik, atau mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau memberikan sinar penerangan di dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat benda-benda, demikian pula Kebenaran telah dijelaskan oleh Yang Mulia Gotama dengan berbagai cara. Oleh karenanya, kami berlindung dalam Beliau, dalam Dhamma-Nya, dan SanghaNya. Semoga Yang Mulia Gotama berkenan menerima kami sebagai siswa awam yang sejak saat ini telah mengambil perlindungan dalam Dia selama hidup kami.'

Catatan
1. Harus diingat bahwa ketika menjelaskan ciri-ciri fisik manusia, Sang Buddha hanya mengacu ke penduduk India di timur laut dan bagian tengah dari anak benua itu.
Di sini Sang Buddha mengacu ke perbedaan-perbedaan yang terlihat dari pengalaman pribadinya, dan kemudian menjelaskan bahwa tindakan-tindakan (kamma) dan tingkah laku merupakan kunci menuju kesempurnaan dan pencerahan. Tetapi akibat wajar dari tumimbal lahir dapat membuat orang dilahirkan di alam-alam 'tinggi' atau 'rendah' --yaitu lingkungan yang dapat mendorong atau menghalangi pertumbuhan spiritual (atau bahkan materi). Jadi, walaupun setiap orang memiliki potensi untuk memahami, kamma menyebabkan selalu adanya hasil yang tidak sama.
Maka, tidaklah relevan jika bagian bacaan ini dikutip keluar dari konteksnya dalam debat apa pun mengenai 'kesetaraan ras', seperti yang dilakukan oleh K. N. Jayatileke dan G.P. Malalasekera di dalam karya mereka, Buddhism and the Race Question (UNESCO, Paris, 1958; dicetak ulang oleh BPS, Kandi 1974). Untuk pendekatan Buddhis rasional mengenai hal ini, lihat Human Progress: Reality or Illusion? karya Philip Eden (BPS 1974).

VASALA SUTTA1

BAB I
BAB TENTANG ULAR
7. VASALA SUTTA1
Manusia Sampah (Spiritual)
Definisi Sang Buddha tentang manusia sampah (spiritual)
Demikian yang telah saya dengar: Pada saat itu Sang Buddha berdiam di dekat Savatthi di Hutan Jeta di vihara Anathapindika. Ketika hari menjelang siang, setelah mengenakan jubah dan mengambil mangkuk, Sang Buddha pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan makanan. Pada waktu itu, di rumah brahmana pemuja-api yang bernama Aggika-Braradvaja, api dinyalakan dan benda-benda untuk kurban telah disiapkan.
Kemudian Sang Buddha, yang berjalan dari rumah ke rumah, sampai ke tempat tinggal brahmana itu. Melihat Sang Buddha mendekat, dia berteriak: 'Berhentilah di situ, hai pertapa gundul. Berhentilah di situ, hai pertapa. Berhentilah di situ, hai manusia sampah!'
Sang Buddha [dengan tenang menjawab]: 'O, brahmana, dapatkah engkau mengenali manusia sampah? Dapatkah engkau mengetahui hal-hal yang membuat seseorang menjadi sampah?'
'Memang tidak, O Tuan Gotama, saya tidak dapat mengenali manusia sampah, dan saya tidak mengetahui hal-hal yang membuat seseorang menjadi sampah. Karena itu, Tuan Gotama, akan amat bagus bila engkau menjelaskan padaku mengenai hal ini.'
Sang Buddha [meneruskan]: 'Baiklah, wahai brahmana, dengarkan baik-baik dan camkanlah kata-kataku ini:
1. Siapa pun yang marah, yang memiliki niat buruk, yang berpikiran jahat dan iri hati; yang berpandangan salah, yang penuh tipu muslihat, dialah yang disebut sampah.2 (116)
2. Siapa pun yang menghancurkan kehidupan, baik burung atau binatang, serangga atau ikan, yang tidak memiliki kasih sayang terhadap kehidupan .... (117)
3. Siapa pun yang merusak atau agresif (suka menyerang) di kota dan di desa dan dikenal sebagai perusak atau penjahat yang kejam .... (118)
4. Siapapun yang mencuri apa yang dianggap milik orang lain, baik yang ada di desa atau hutan .... (119)
5. Siapapun yang setelah berhutang lalu menyangkal ketika ditagih, dan menjawab pedas: 'Aku tidak berhutang padamu!' .... (120)
6. Siapa pun yang berkeinginan mencuri walaupun benda tidak berharga, lalu mengambil barang itu setelah membunuh orang di jalan .... (121)
7. Siapapun yang memberikan sumpah palsu untuk kepentingannya sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk mendapat keuntungan .... (122)
8. Siapapun yang mempunyai hubungan gelap dengan istri famili atau temannya, baik dengan paksaan atau karena suka sama suka .... (123)
9. Siapapun yang tidak menyokong ayah atau ibunya, yang sudah tua dan lemah, padahal dia hidup dalam keadaan berkecukupan .... (124)
10. Siapa pun yang menyerang atau mencaci-maki ayah, ibu, saudara kandung, atau ibu mertua .... (125)
11. Siapapun yang dimintai nasihat yang baik tetapi malahan mengajarkan apa yang menyesatkan atau berbicara dengan tidak jelas .... (126)
12. Siapapun yang munafik, yang setelah melakukan pelanggaran kemudian ingin menyembunyikannya dari orang-orang lain .... (127)
13. Siapapun yang setelah berkunjung ke rumah orang lain dan menerima keramah-tamahan di sana, tidak membalasnya dengan sikap serupa .... (128)
14. Siapapun yang menipu pertapa, bhikkhu atau guru spiritual lain .... (129)
15. Siapapun yang mencaci-maki dan tidak melayani pertapa atau bhikkhu yang datang untuk makan .... (130)
16. Siapapun, yang karena terperangkap di dalam kebodohan, memberikan ramalan yang tidak benar demi keuntungan yang sebenarnya tak berharga .... (131)
17. Siapapun yang meninggikan dirinya sendiri dan merendahkan orang lain, pongah dalam kesombongannya .... (132)
18. Siapapun yang suka memicu pertengkaran, yang kikir, memiliki keinginan-keinginan jahat, iri hati, tidak tahu malu dan tidak menyesal kalau melakukan kejahatan .... (133)
19. Siapa pun yang menghina Sang Buddha atau siswa-siswanya, baik yang telah meninggalkan keduniawian maupun perumah-tangga biasa .... (134)
20. Siapa pun yang berpura-pura Arahat padahal sebenarnya bukan, dia benar-benar penipu hina terbesar di dunia ini, sampah terendah dari semuanya. Demikian telah kujelaskan siapa yang merupakan sampah. (135)
21. Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran pula orang menjadi brahmana (mulia). Oleh karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Oleh karena perbuatan pula orang menjadi brahmana. (136)
22. Kini dengarkanlah, akan kuberikan suatu contoh. Ada seorang anak laki-laki dari kasta rendah yang bernama Matanga dari kasta Sopaka. (137)
23. Dia mencapai puncak kejayaan. Dan sesudah itu, para ksatria, brahmana, dan orang-orang lain datang untuk melayaninya. (138)
24. Setelah menghancurkan nafsu-nafsu duniawi, dia memasuki Jalan Mulia dan mencapai alam Brahma. Kasta tidak dapat mencegahnya terlahir di alam surgawi. (139)
25. Para brahmana yang mengenal Veda dengan baik dan terlahir di keluarga yang hafal Kitab Veda, jika mereka kecanduan melakukan perbuatan-perbuatan jahat. (140)
26. Mereka bukan hanya ternoda di dalam kehidupan ini saja; di dalam kehidupan yang akan datang pun mereka akan terlahir di dalam keadaan yang menderita. Kasta tidak dapat mencegah mereka ternoda atau terlahir di dalam keadaan yang menderita.' (141)
27. (Di sini, bait 21 diulang) (142)
Setelah Sang Buddha berbicara, brahmana Aggika Braradvaja berseru : 'Sungguh menakjubkan, Yang Mulia Gotama, sungguh luar biasa, Yang Mulia Gotama! Sebagaimana orang menegakkan apa yang telah terjungkir balik, atau mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau memberikan sinar penerangan di dalam kegelapan, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat benda-benda, demikian pula Kebenaran telah dijelaskan oleh Yang Mulia Gotama dengan berbagai cara.
'Oleh karena itu, saya berlindung pada Beliau, pada Dhamma-Nya, dan Sangha-Nya. Saya mohon Yang Mulia Gotama berkenan menerima saya sebagai siswa awam yang sejak saat ini telah menyatakan berlindung pada-Nya seumur hidup!'

Catatan
1. Juga disebut Aggika-Braradvaja Sutta
2. Dari no. 2 sampai 19 setiap bait berakhir dengan pengulangan: 'dialah yang disebut sampah.'
3. Acuan awal 'membegal'

VANGISA SUTTA1

II. BAB MINOR
12. VANGISA SUTTA1
VANGISA
Vangisa mendapat kepastian bahwa gurunya telah mencapai Nibbana
Suatu ketika Sang Buddha berdiam di dekat Alavi di vihara Aggalava. Pada saat itu, Yang Mulia Nigrodhakappa, guru pembimbing Yang Mulia Vangisa, belum lama wafat di sana. Kemudian, suatu buah-pikir muncul di benak YM Vangisa (yang hidup menyendiri) dalam meditasinya: apakah guru pembimbingnya telah mencapai Nibbana atau belum. Maka di petang harinya, YM Vangisa [bersama teman-temannya] menghadap Sang Buddha dan dengan hormat menanyakan hal ini:
1. Kami bertanya kepada Sang Buddha yang memiliki kebijaksanaan sempurna, yang bisa menghalau keraguan di dunia ini --tentang bhikkhu terkenal, yang memiliki keagungan dan pikiran yang damai, yang telah wafat di Aggalava. (343)
2. O, Buddha, Bhante-lah yang memberikan nama Nigrodhakappa kepada beliau. Tanpa kenal lelah, beliau berkelana ke mana-mana dengan rasa hormat kepada Bhante. Beliau berjuang untuk mencapai pembebasan, kokoh dalam pemahaman Dhamma. (344)
3. O, Buddha, Yang Maha Melihat, kami semua ingin mengetahui tentang siswa itu. Kami siap mendengarkan. Bhante adalah Guru kami yang tiada bandingnya. (345)
4. Hilangkanlah keraguan kami, jelaskanlah tentang hal ini. O, Buddha yang memiliki kebijaksanaan luar biasa, beritahukanlah apakah beliau telah mencapai Nibbana. O, Buddha Yang Maha Melihat, berbicaralah di tengah-tengah kami sebagai raja para dewa, Indra dengan seribu mata. (346)
5. Keruwetan apa pun yang ada di dunia, yang menyebabkan kegelapan batin, yang berhubungan dengan ketidaktahuan, yang menyebabkan keraguan, semua ini lepas terurai ketika orang menghadap Sang Tathagata. Sesungguhnyalah Beliau memiliki mata teragung di antara semua manusia. (347)
6. Jika orang seperti Bhante tidak menghalau nafsu bagaikan angin menghalau awan, seluruh dunia akan tertutup oleh kegelapan; bahkan orang yang agung pun tidak akan bersinar. (348)
7. Orang bijaksana adalah pembawa terang. Saya yakin bahwa Bhante adalah orang bijaksana. Kami datang pada Yang Memiliki Pandangan Terang dan Pengetahuan. Kami mohon Bhante menjelaskan kepada kami semua di sini, di manakah Yang Mulia Nigrodhakappa kini? (349)
8. O, Yang Maha Mulia, alunkanlah segera suara-Mu yang indah bagaikan angsa menjulurkan lehernya, mengalunkan suaranya yang penuh dan teratur baik. Kami semua akan mendengarkan dengan penuh perhatian. (350)
9. Dengan tulus kami memohon kepada Yang Maha Murni, yang telah sepenuhnya mengalahkan kelahiran dan kematian, untuk membabarkan Dhamma, karena ini bukanlah hanya sekadar pemuasan nafsu makhluk duniawi. Biarlah Sang Tathagata bertindak dengan kebijaksanaan. (351)
10. Penjelasan dari Yang Memiliki Kebijaksanaan Tanpa Cela selalu dapat diterima. Kami telah siap menerimanya. O, pertapa agung, jangan biarkan kami berada dalam kegelapan batin. (352)
11. Bhante telah sepenuhnya mengetahui ajaran orang-orang suci. O, Yang Penuh Energi, jangan biarkan kami berada di dalam kebodohan. Bagaikan orang yang menderita kepanasan di musim panas merindukan air, kami merindukan kata-kataMu. Curahkanlah kata-kata kebijaksanaan-Mu. (353)
12. Jika Yang Mulia Nigrodhakappa telah menjalani kehidupan suci, apakah ini memberikan buah? Apakah beliau mencapai Nibbana dengan sisa? Bagaimana beliau terbebaskan, itulah yang ingin kami dengar. (354)
13. Sang Buddha: Dia telah memutus nafsu terhadap materi dan batin di dunia ini, yang merupakan arus Mara yang mengalir lama. Dia telah sepenuhnya menyeberangi semua kelahiran dan kematian. Demikian dikatakan Yang Telah Tercerahkan, pemimpin dari lima disiplin pertama.2 (355)
14. Engkau adalah yang termulia di antara pertapa agung. Mendengar kata-kata-Mu saya merasa gembira. Pencarianku tidaklah sia-sia. Sang Buddha tidak membodohi saya. (356)
15. Murid Bhante tersebut memang telah bertindak seperti yang dikatakan Sang Buddha. Beliau telah menghancur-leburkan bentangan dan jaring kuat Mara yang penuh tipu muslihat. (357)
16. O, Yang Tercerahkan, Yang Mulia Nigrodhakappa telah melihat sumber kemelekatan dan pasti sudah menyeberangi alam kematian yang amat sulit untuk diseberangi. (358)

Catatan
1. Juga disebut Nigrodhakappa Sutta
2. Pancasettho: dalam pengertian lain, ini berarti bahwa Sang Buddha telah menaklukkan lima indera

UTTHANA SUTTA

II. BAB MINOR
10. UTTHANA SUTTA
Kebangkitan
Desakan yang kuat untuk mengerahkan usaha
1. Bangkitlah! Duduklah tegak-tegak!
Apa untungnya tidur?
Tidur macam apa yang ada bagi yang terserang penyakit,
Yang ditembus oleh anak panah penderitaan? (331)
2. Bangkitlah! Duduklah tegak-tegak!
Berlatihlah dengan mantap untuk mencapai Kedamaian.
Jangan biarkan Raja Kejahatan (Mara) membodohimu dan merengkuhmu ke dalam kekuasaannya,
Karena mengetahui engkau lengah. (332)
3. Atasilah nafsu keinginan ini
Di mana para dewa dan manusia tetap terikat dan mencari kesenangan darinya.
Jangan biarkan saat kesempatan emas1 ini berlalu.
Mereka yang membiarkan kesempatan emas ini berlalu
Akan meratap ketika masuk ke dalam kesengsaraan. (333)
4. Kelengahan adalah suatu noda
Dan demikianlah noda yang menurun
Terus menerus, dari satu kelengahan ke kelengahan lain,
Dengan ketekunan dan pengetahuan
Hendaklah orang mencabut anak panah [nafsu-nafsu]. (334)

Catatan
1. Kesempatan atau saat/momen disebut khana, sedangkan akkhana berarti saat yang tidak menguntungkan. Menurut Sangiti Sutta dari Digha Nikaya, ada 9 saat yang tidak menguntungkan bagi manusia yang tidak dapat mengikuti ajaran Sang Buddha: Saat seorang Buddha muncul, orang itu dilahirkan dalam (1) alam menderita (niraya), (2) alam binatang, (3) di antara makhluk halus, (4) alam Raksasa (asura), (5) dalam kelompok dewa yang berusia panjang, (6) di antara orang biadab yang tidak pandai, (7) atau mereka yang memiliki pandangan salah, (8) atau terlahir sebagai orang bodoh, tumpul pikirannya, tuli dan bisu, (9) atau pada saat seorang Buddha tidak dilahirkan. Saddhammopayana, edisi R. Morris, Journal of the Pali Text Society, VI, London 1887 (dicetak ulang 1978), menjelaskan hanya 8 saat yang tidak menguntungkan (lihat syair 4-6). Karya Abhayagirivasins (Sinhalese), teks ini tidak memasukkan nomor (4). Lihat Upasakajanalankara, edisi H. Saddhatissa, Pali Text Society, London 1965, hal. 61

URAGA SUTTA

BAB I
BAB TENTANG ULAR
1. URAGA SUTTA
Kulit Ular
Bhikkhu yang membuang semua nafsu manusiawi bagaikan ular yang mengelupaskan kulitnya
1. Bila seorang bhikkhu membuang kemarahan segera setelah kemarahan muncul, seperti penawar racun yang diberikan tepat waktunya untuk melawan racun ular yang masuk ke dalam tubuh, bhikkhu itu terbebas dari Proses Tumimbal Lahir bagaikan ular yang mengelupaskan kulitnya yang sudah tua dan usang.1 (1)
2. Dia yang telah sepenuhnya menghancurkan nafsu seperti halnya orang memotong bunga teratai di danau, bhikkhu itu .... (2)
3. Dia yang telah sepenuhnya menghancurkan nafsu keinginan bagaikan mengeringkan sungai yang dahulunya berarus deras ...2 (3)
4. Dia yang telah sepenuhnya menghancurkan kesombongan bagaikan jembatan ilalang rapuh dihanyutkan oleh banjir deras .... (4)
5. Dia yang tidak melihat inti apa pun di dalam bentuk dumadi (becoming) bagaikan orang yang tidak menemukan bunga di pohon ara .... (5)
6. Dia yang tidak memiliki kemarahan di dalam dirinya dan telah menanggulangi semua bentuk dumadi .... (6)
7. Dia yang telah menghancurkan spekulasi, yang telah benar-benar siap tanpa ada sisa .... (7)
8. Dia yang tidak gelisah serta tidak malas, dan telah menanggulangi segala rintangan semacam itu .... (8)
9. Dia yang tidak gelisah serta tidak malas, dan tahu bahwa semua yang ada di dunia ini adalah tanpa inti .... (9)
10. Dia yang tidak gelisah serta tidak malas, dan tahu bahwa segalanya adalah tanpa Inti, yang telah terbebas dari keserakahan .... (10)
11. Dia yang tidak gelisah serta tidak malas, dan tahu bahwa segalanya adalah tanpa inti, yang telah terbebas dari nafsu birahi .... (11)
12. Dia yang tidak gelisah serta tidak malas, dan tahu bahwa segalanya adalah tanpa Inti, yang telah terbebas dari kemarahan .... (12)
13. Dia yang tidak gelisah serta tidak malas, dan tahu bahwa segalanya adalah tanpa inti, yang telah terbebas dari kebodohan batin .... (13)
14. Dia yang tidak memiliki kecenderungan tak sehat apapun dan telah sepenuhnya menghancurkan akar-akar kejahatan .... (14)
15. Dia yang tidak memiliki kecemasan apa pun yang merupakan penyebab masuknya ke dunia ini .... (15)
16. Dia yang tidak memiliki nafsu keinginan apa pun yang menyebabkan kemelekatan terhadap dumadi .... (16)
17. Dia yang telah menghilangkan lima penghalang,3 yang telah terbebas dari kebingungan karena telah mengatasi keraguan dan kesedihan .... (17)

Catatan
1. Setiap bait berakhir dengan pengulangan: 'bhikkhu itu terbebas dari Proses Tumimbal Lahir bagaikan ular yang mengelupaskan kulitnya yang sudah tua dan usang.'
2. Bagian kedua dari bait teks itu muncul sebagai saritam sighasaram visosayitva, sedangkan Kitab Komentar menyatakan: saritam gatam pavattam, sighasaram, sighagaminim, saritam sighasaram pi tanham.
Yang belakangan itu berarti 'nafsu keinginan yang mengalir dengan cepat.' Dalam bait-bait serupa, perumpamam kedua dan keempat diberikan di bagian kedua. Karena itu, di dalam analogi dua bait ini saya merasa bahwa kata-katanya telah diubah, bahkan pada masa Kitab Komentar. Pada hemat saya, yang benar seharusnya berbunyi saritam sighasaram va sosayitva. Karena itulah saya telah menerjemahkan sesuai dengan itu.
3. Nafsu indria, keinginan jahat, kemalasan fisik dan mental, kegelisahan dan kecemasan, skeptisisme.

UPASIVA

BAB V
TENTANG JALAN MENUJU
PANTAI SEBERANG
6. PERTANYAAN UPASIVA

Kemudian siswa brahmana Upasiva mengajukan pertanyan:

1. 'Manusia Sakya,' katanya, 'tidaklah mungkin bagi saya untuk menyeberangi samudra yang amat luas sendirian, dan tanpa bantuan. Engkau adalah mata yang melihat segalanya, beritahukanlah apa yang dapat digunakan untuk membantu saya menyeberangi samudra.' (1069)
2. Sang Buddha berkata kepada Upasiva: 'Gunakanlah dua hal ini untuk membantumu menyeberangi samudra: persepsi (pemahaman) tentang Kekosongan1 dan kesadaran bahwa 'tidak ada apa pun'. Tinggalkanlah kenikmatan-kenikmatan indera dan bebaskanlah dirimu dari keraguan, sehingga engkau mulai melihat dan merindukan akhir dari nafsu keinginan.' (1070)
3. 'Yang Mulia,' kata Upasiva, 'jika orang telah terbebas dari kemelekatan terhadap segala kesenangan dan tidak bergantung lagi pada apa pun, dan dia lepaskan juga apa pun lainnya, maka dia bebas dalam kebebasan tertinggi dari persepsi. Tetapi apakah dia abadi berada di sana dan tidak akan kembali lagi?' (1071)
4. 'Jika seseorang telah terbebas,' kata Sang Buddha, 'dari semua kesenangan indera dan tidak bergantung pada apa pun, dia terbebas dalam kebebasan tertinggi dari persepsi. Dia akan tinggal di sana dan tidak kembali lagi.' (1072)
5. 'Yang Mulia, Engkau memiliki mata yang melihat segalanya,' kata Upasiva. 'Jika orang ini tinggal bertahun-tahun di dalam keadaan ini tanpa kembali, apakah dia akan menjadi dingin dan terbebas di sana sendiri? Katakanlah, apakah kesadaran masih ada bagi orang seperti ini.' (1073)
6. 'Ini bagaikan lidah api yang tiba-tiba diterpa hembusan angin,' kata Sang Buddha. Dalam sekejap ia lenyap dan tidak ada lagi yang diketahui tentangnya. Sama halnya dengan orang bijaksana yang terbebas dari keberadaan mental: dalam sekejap dia telah pergi dan tidak ada yang dapat diketahui tentang dia.' (1074)
7. 'Tolong terangkanlah hal ini secara jelas, Tuan,' kata Upasiva, 'Engkau manusia bijaksana yang tahu secara tepat cara hal-hal bekerja: apakah orang itu telah lenyap, apakah dia hanya sekadar tidak ada, ataukah dia ada dalam kesejahteraan yang abadi? (1075)
8. Jika seseorang telah pergi, maka tidak ada apa pun yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Sesuatu yang dapat dipakai untuk membicarakannya tidak lagi ada baginya; kamu tidak dapat mengatakan bahwa dia tidak ada. Bila semua cara untuk ada sudah hilang, berarti seluruh fenomena hilang, maka seluruh cara menjelaskannya juga lenyap.' (1076)

Catatan
1. Kesadaran Alam Tanpa-bentuk yang ketiga (Arupajjhana) yang disebut Natthi kinci, 'Tidak ada apa pun' oleh yogi yang berkonsentrasi padanya.