Selasa, 16 Maret 2010

DHANIYA SUTTA

BAB I
BAB TENTANG ULAR
2. DHANIYA SUTTA
Dhaniya Penggembala
Sualu dialog antara Dhaniya dan Sang Buddha. Yang satu bersuka cita dalam kenyamanan duniawi, sedangkan yang lain dalam kebebasan spiritual
Dhaniya adalah seorang penggembala yang bertemu dengan Sang Buddha ketika Beliau bersemayam di Savatthi. Saat itu menjelang musim hujan, tepat sebelum datangnya hujan. Dhaniya telah membangun tempat perlindungan yang kuat bagi dirinya, keluarganya, serta ternaknya di tepi Sungai Mahi. Tetapi Sang Buddha menyadari bahwa keluarga ini berada dalam bahaya dilanda banjir, maka Beliau muncul di tempat tinggal penjaga ternak itu tepat ketika dia sedang bersuka cita dalam kenyamanan dan keamanannya:
1. Dhaniya: Aku telah memasak nasiku dan memerah sapiku. Aku berdiam dengan orang-orangku di dekat tepi Sungai Mahi. Rumahku beratap rumbia, api telah menyala. Oleh karena itu, hujanlah, o awan, jika kau mau. (18)
2. Sang Buddha: Aku telah terbebas dari kemarahan, terbebas dari nafsu. Di malam hari aku berdiam di dekat tepi Sungai Mahi. Rumahku [tubuhku] tidak tertutup, api nafsu telah padam. Oleh karena itu, hujanlah, o awan, jika kau mau ! (19)
3. Dhaniya: Lalat dan nyamuk tidak diketemukan. Padang rumputku hijau karena rumputnya subur di tanah berpaya. Ternakku dapat bertahan jika hujan datang. Oleh karena itu, hujanlah, o awan, jika kau mau! (20)
4. Sang Buddha: Olehku sebuah rakit yang kuat [Sang Jalan] telah dibuat. Aku telah menyeberangi banjir menuju Nibbana. Tak ada lagi gunanya rakit itu. Oleh karena itu, hujanlah, o awan, jika kau mau! (21)
5. Dhaniya: Gopi, istriku, bukanlah orang sembarangan dan dia patuh padaku. Sudah lama dia tinggal bersamaku dengan bahagia. Mengenai dirinya, aku tidak mendengar apapun yang jahat. (22)
6. Sang Buddha: Pikiranku patuh dan terbebas dari nafsu. Amat lama sudah pikiran ini terlatih dan terkuasai dengan baik. Maka kejahatan tidak ditemukan di dalam diriku. (23)
7. Dhaniya: Aku adalah majikan bagi diriku sendiri dan aku menyokong diriku sendiri. Putra-putraku semuanya sehat. Mengenai mereka, aku tidak mendengar apa pun yang jahat. (24)
8. Sang Buddha: Aku bukanlah pelayan siapapun. Dengan tercapainya tujuanku [Ke-Buddha-an], aku berkelana di dunia; tidak lagi aku perlu melayani. (25)
9. Dhaniya: Aku memiliki banyak sapi jantan muda dan sapi jantan kecil, juga banyak sapi betina kecil dan calon induk, serta seekor sapi jantan dewasa yang merupakan pemimpin kelompok itu. (26)
10. Sang Buddha: Aku tidak memiliki sapi jantan muda atau sapi jantan kecil, tidak juga sapi betina kecil atau calon induk, atau pun sapi jantan dewasa yang merupakan pemimpin kelompok itu. (27)
11. Dhaniya: Pancang telah ditegakkan dengan kokoh. Tali-talinya terbuat dari rumput munja baru dan dipintal kuat. Bahkan sapi-sapi muda pun tidak dapat mematahkannya. (28)
12. Sang Buddha: Setelah mematahkan segala belenggu bagaikan seekor banteng, sebagaimana seekor gajah telah mematahkan tanaman rambat putilata, maka tidak akan ada lagi kelahiran bagiku. (29)
13. (Namun kemudian tiba-tiba turunlah hujan deras yang membanjiri segala permukaan, segala tempat dan celah. Ketika mendengar gelegar badai itu, Dhaniya mengucapkan kata-kata berikut ini:) (30)
14. Amat besar, sungguh besar keuntungan yang kita peroleh karena dapat bertemu dengan Sang Buddha, Yang Maha Tahu. Kepada Yang Mulia kami datang untuk berlindung, O, Yang Maha Melihat. Jadilah pelindung kami! (31)
15. Baik istri maupun aku akan patuh kepada Yang Mulia dalam Ajaran Sugata, Yang Dinanti-nantikan. Kami akan menjalani kehidupan suci. Setelah mengatasi kelahiran dan kematian kami akan mengakhiri penderitaan. (32)
16. Kemudian Mara1 muncul untuk menggoda Sang Buddha: Dia yang memiliki anak bergembira karena anak itu. Begitu juga, dia yang memiliki ternak pun bergembira karena ternaknya. Kegembiraan manusia ada pada elemen keberadaan indera (upadhi) raja. Maka dia yang tidak memiliki upadhi tidak memiliki kegembiraan. (33)
17. Sang Buddha: Dia yang memiliki anak mempunyai kesedihan karena anak itu. Dia yang memiliki ternak mempunyai kesedihan karena ternaknya. Upadhi-lah penyebab penderitaan manusia. Tetapi dia yang tidak memiliki upadhi tidak memiliki penderitaan. (34)

Catatan
1. Secara harafiah, Mara berarti 'si pembunuh' atau 'pembawa kematian'. Dalam literatur Buddhis, 'nafsu', 'kemarahan', 'godaan', 'tabiat buruk', atau 'kejahatan' dipersonifikasikan sebagai Mara (Yang Jahat). Dari saat pencerahan Sang Buddha sampai Parinibbana Beliau, Mara menampakkan diri dalam berbagai keadaan, baik berbentuk dewa, manusia atau bahkan binatang.
Menurut literatur Buddhis, ada lima jenis Mara: (i) lima khanda --kelompok batin-dan-materi, (ii) aktivitas karma, (iii) kematian, (iv) kekotoran mental dan (v) makhluk dewa.
Di sini, istilah ini digunakan dalam arti 'nafsu' atau 'kejahatan' yang dipersonifikasikan. Pasukan Mara terdiri dari sepuluh kekuatan: (i) nafsu indera, (ii) ketidakpuasan, (iii) kelaparan dan kehausan, (iv) nafsu keinginan, (v) kemalasan dan rasa kantuk, (vi) sifat pengecut, (vii) ketidakpastian, (viii) kebingungan dan sifat keras-kepala, (ix) perolehan, pujian, penghargaan, dan kemasyhuran yang tidak pantas diperoleh, serta (x) pujian pada diri sendiri sambil menjelek-jelekkan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar